Kisah pilu dua warga Medang Deras, Joko Purnomo dan Muhammad Riski, yang kini harus merasakan dinginnya jeruji besi Polsek Medang Deras, Kabupaten Batubara, bukan hanya menyentuh nurani, tapi juga menampar wajah penegakan hukum di negeri ini.
Tuduhan penganiayaan yang dikenakan kepada mereka, berdasarkan Pasal 170 subsider 351 KUHP, kini jadi sorotan. Bukan karena beratnya pasal, tapi karena aroma ketidakadilan yang kian menyengat.
Dalam perbincangan dengan awak media, Murni—kerabat sekaligus orang yang menjadi pemicu peristiwa ini—mengungkap fakta-fakta mengejutkan.
Ia menduga adanya rekayasa laporan yang diduga kuat dilakukan oleh penyidik yang berselingkuh kepentingan dengan pelapor berinisial D, yang tak lain adalah mantan suami sirinya.
Awal persoalan ini sederhana. Murni dan D memiliki seorang anak perempuan dari pernikahan sirih mereka. Pasca perceraian, anak tersebut diasuh oleh Murni dan keluarganya.
Namun, ketenangan mereka terganggu ketika D, secara sepihak dan tanpa izin, membawa sang anak dari kediaman orang tua Murni.
Dalam kekhawatiran dan semangat melindungi hak asuh, Murni bersama keluarga, termasuk Joko dan Riski, mendatangi rumah D di Pagurawan.
Tindakan mereka bukan penyerangan. Bahkan, untuk menghindari konflik, Murni mengajak kepala dusun sebagai penengah. Tapi nyatanya, alih-alih terjadi tuduhan penganiayaan justru dilemparkan ke Joko dan Riski.
tanpa proses yang transparan, dan penyidik menolak keterangan murni dan keluarga laporan D langsung diproses—dan dua orang langsung dijebloskan ke penjara.
Lebih memilukan, menurut pengakuan Murni, ada tekanan dari oknum-oknum polisi agar mereka ‘damai’. Bayangkan, bukan mediasi bijak, tapi damai dengan mahar Rp100 juta! Apakah ini hukum atau transaksi?
Pertanyaan yang lebih besar: Mengapa Polsek Medang Deras secepat itu menerima laporan dan menetapkan dua orang tersangka, tanpa memeriksa lebih lanjut latar belakang dan motif sebenarnya? Apakah karena D ‘berkawan’ dengan penyidik? Apakah ada deal di balik meja? Ini bukan lagi soal hukum, ini sudah jadi ironi penegakan hukum.
Murni menegaskan, pihak keluarga telah melaporkan tiga oknum polisi ke Propam Polres Batubara. Sebuah langkah berani dari rakyat kecil yang haus keadilan. Tapi akankah laporan ini ditindak? Ataukah akan menguap seperti udara di tengah hari?
Kasus ini adalah potret buram sistem hukum kita. Saat rakyat kecil dipaksa tunduk, bukan pada hukum, tapi pada kuasa dan uang. Ketika kebenaran dikalahkan oleh kepentingan.
Kita menunggu, akankah Kapolres Batubara bersikap profesional? Akankah pengadilan mampu menjadi benteng terakhir keadilan, atau justru ikut terseret dalam arus?
Joko dan Riski mungkin hanya dua nama. Tapi mereka mewakili ribuan orang lain yang bisa saja jadi korban berikutnya dari sistem hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika hari ini kita diam, maka esok, bukan tak mungkin kita yang akan duduk di kursi pesakitan, meski tak bersalah.
Nst