Penutupan Gerbang Tol Jati Karya  Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab

Berita, Nasional269 Dilihat

3 Mei 2022

Warga ahli waris lahan Jatikarya untuk kesekian kalinya kembali menduduki akses gerbang tol. Kamis (2/6) puluhan warga menutup akses keluar dan masuk gerbang tol Jatikarya sebagai bentuk protes lahan mereka yang sudah menjadi jalan tol tetapi belum menerima ganti rugi. 

Kasus ganti rugi lahan tol Jatikarya seluar 4,8 hektar ini tergolong cukup alot melibatkan banyak pihak. Berawal dari sengketa lahan warga ahli waris dengan Kemenhan dari tahun 1992 yang berakhir di vonis putusan PK MA No 218/Pdt/2008 yang menyatakan lahan secara sah milik warga. Namun keputusan belum berkekuatan hukum tetap, masih berlanjut di persidangan dengan pihak Mabes TNI hingga keluar putusan MA PK II No 815/Pdt/2018 jo PK I No 218/Pdt/2008 yang semakin menguatkan status hukum kepemilikan lahan milik warga. 

Dalam rentang waktu PK I Tahun 2008 sampai PK II 2018, pada tahun 2016 pihak BPN Bekasi selaku Panitia Pengadaan Tanah mengambil 4,8 Hektar lahan tersebut untuk kebutuhan lahan tol Cimanggis Cibitung. Di tahun 2016 pula pihak PUPR sepakat menitipkan uang ganti rugi (konsinyasi) ke PN Bekasi.

Akhirnya PK II MA di tahun 2019 berstatus inkrah dan berkekuatan hukum tetap. Uang ganti rugi di PN Bekasi yang seharusnya sah menjadi milik puluhan warga gagal dicairkan karena persoalan administrasi. Syarat mutlak pencairan uang konsinyasi adalah diterbitkannya surat pengantar dari BPN Bekasi selaku Panitia Pengadaan Tanah sebagai bentuk pengakuan hak kepemilikan. Tanpa surat pengantar tersebut, PN Bekasi menolak menyerahkannya kepada warga.

Berulang kali warga memohon surat pengantar dari Kantah BPN Bekasi, Kanwil BPN Bandung hingga BPN Pusat, namun hingga saat ini terus berkutat di persoalan pingpong birokrasi. Kantah Bekasi menyerahkan tanggung jawab penerbitan surat pengantar ke Kanwil Bandung, selanjutnya dilempar wewenangnya ke BPN Pusat, yang pada akhirnya BPN pusat merekomendasikan kembali ke Kantah BPN Bekasi. Begitulah berulang-ulang terjadi dari tahun 2019 hingga hari ini.

 

Kesabaran warga yang taat aturan dan prosedur sudah lebih dari cukup dari tahun 2019. Sebagian mereka yang sudah kehilangan lahan dan tempat tinggalnya rela pindah tempat dan menyewa rumah untuk tempat tinggal, menunggu uang ganti rugi yang tak kunjung diserahkan. Pada akhirnya kembali ke status hukum lahan mereka yang sekarang sudah menjadi jalan tol dan beroperasi secara komersil. Selama uang ganti rugi belum diserahkan, mereka masih sah atas kepemilikannya. Jika mereka menutup akses tol sebagai upaya melindungi hak lahan mereka sendiri.

Masyarakat pengguna jalan yang tidak paham persoalan akan menganggap warga arogan dan mengganggu kepentingan umum. Tetapi bagi yang paham status lahan tersebut, maka pihak BPN menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas sengkarut yang terjadi. Menunda memberikan surat pengantar dengan alasan prosedur administrasi jika selama 3 bulan masih bisa dimaklumi karena urusan BPN tidak hanya di Jatikarya. Tetapi sudah lebih dari 3 tahun patut diduga terjadi praktik mafia tanah, menghilangkan hak kepemilikan tanah secara sistematis. 

Sementara uang ganti rugi sebesar 218 milyar yang dikonsinyasikan PN Bekasi, tersimpan di Bank BTN sejak 2016 hingga hari ini siapapun yang menikmati nilai ekonomis, minimalnya bunga bank, patut diduga melakukan kolusi.

Aksi penutupan gerbang tol hari Kamis (2/6) berakhir dengan negosiasi persoalan ganti rugi akan diselesaikan dalam waktu seminggu ini. Warga membubarkan diri dan berjanji akan menutup total jalan tol jika dalam janji 1 minggu ini tidak juga ada penyelesaian. Beberapa warga sudah mempersiapkan tenda dan bangunan rumah semi permanen beserta isinya yang akan didirikan di tengah jalan tol, di tanah mereka sendiri.

Red/Tim

Nara sumber : M Gunun Warga Ahli Waris Jati Karya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *